Langsung ke konten utama

Postingan

30 Tahun Teater Semarang

Ilustrasi pentas teater di Semarang. 30 Tahun Teater Semarang Tulisan ini sekadar yang kami ingat, selama mengetahui perjalanan teater di Semarang. Baik ingatan dalam bentuk cerita dari pendahulu kami, pengamatan, membaca maupun ikut serta didalamnya. Mengapa 30 Tahun? Untuk mempermudah ingatan saja. Itu saja masih kami bagi menjadi 3 dasa warsa dan masih sebatas yang kami ketahui. 30 Tahun Teater Semarang, dalam tulisan ini, kami awali dari tahun 1980. Perjalanan tahun-tahun sebelumnya, saya belum mampu memberanikan diri menulis. Karena saya masuk kota Semarang baru tahun 1985. Harapannya, muncul tulisan-tulisan lain, guna melengkapi kasanah dan perbendaharaan perjalanan teater di Semarang. Dalam tulisan ini, lebih fokus pada perjalanan, aktivitas atau gerakan yang dilakukan para pekerja teater. Persoalan kualitas, mungkin saya turunkan pada tulisan yang lain. selengkapnya di sini.

Mijiling Kidung Kampung

Menuju Hatedu Semarang 2019 (bagian 3)     Setelah melalui proses Rembug beberapa kali yang diberi label “Sarasehan Menuju Hatedu Semarang 2019”, Masyarakat  Pegiat Teater Semarang melahirkan beberapa kesepakatan. Mulai dari konsep, konten, serta waktu dan lokasi pelaksanaan Hatedu Semarang 2019 Titik Kumpul 3. Pelaksanaan Hatedu Semarang 2019: Titik Kumpul 3 disepakati akan digelar di Kampung Ngadirgo, Kecamatan Mijen. Waktu pelaksanaan hari Jumat-Minggu, 29-31 Maret 2019. Tema yang diusung dalam gelaran Titik Kumpul 3 ini adalah "Mijiling Kidung Kampung". Tujuannya adalah melahirkan kelompok teater kampung, langkah awal dengan teknik pendampingan. Panitia pelaksana adalah gabungan dari beberapa unsur, seperti Fotkas, Komite Teater Dekase, guyub TBRS, Kelompok Budaya, Seni, Pemuda, Remaja atau Karang Taruna kampung yang peduli. Kampung yang terlibat dalam peringatan Hatedu Semarang 2019 meliputi Kampung Ngadirgo (Kecamatan Mijen), Kandri (Gunungpati), Kalialang

Mengapa Kampung?

Masyarakat pegiat teater Semarang bersama anggota Sanggar SKAK berkeliling kampung Ngadirgo, Mijen. Menuju Hatedu Semarang 2019 (bagian 2) Diskusi atau sarasehan berlabel “Menuju Hatedu Semarang 2019” pertama telah mengerucut pada “Migrasi Teater Kampus ke Kampung”. Mengapa teater kampus harus migrasi ke kampung dan kenapa harus kampung, sedikit banyak telah terjawab dalam diskusi pertama dan diperkuat lagi pada diskusi kedua. Istilah tersebut tidak muncul seketika tetapi berangkat dari kegelisahan seniman teater Semarang. Kegelisahan itu bahwa puluhan tahun di kota Atlas minim adanya kelompok teater di luar kampus. Upaya untuk menepis itu selalu ada. Berkali-kali juga hal itu menjadi topik obrolan, baik serius maupun santai. Menyoal teater Semarang, tak bisa dipungkiri adalah teater kampus. Di awal tahun 2000an, geliat teater kampus mulai tampak. Sebagai motor penggeraknya adalah pelaku teater kampus yang tergabung dalam komunitas SAS (Sasi Ageng Semarang). Seperti

Migrasi Kampus ke Kampung

Menuju Hatedu Semarang 2019 (bagian 1) Minggu malam (20/1/2019) diselimuti dingin. Beruntung tak hujan malam itu. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Sekitar 40 manusia peduli teater berkumpul, ngrembug soal Hatedu Semarang 2019. Pengamat, jurnalis, pelaku, penikmat, bahkan tanpa latar belakang teater pun ikut gabung. Di Lobi sekretariat Dewan Kesenian Semarang (Dekase), diskusi menuju Hatedu Semarang 2019 dimulai (20.39 wib). Sebagai pemantik: Aristya Kuver (jurnalis), Alfiyanto (pengamat dan pelaku), Daniel Godan (pengamat dan pelaku) dari Ambarawa, yang niatnya cuma silaturahmi, ikut ketiban sampur. Sebelum masuk diskusi inti, bicarakan kondisi Teater Semarang belakangan (tahun 2018-an). Semacam refleksi. Pementasan di 2018, masih didominasi Teater kampus. Pelaku maupun ruang atau tempat pementasan, Dari dan Di Kampus. Tak bisa dipungkiri, menyoal teater di Semarang, ya Teater Kampus. Dan sekian masa, Teater Kampus dikondisikan dan ditata oleh Forum Teater Kampus Semara

SINTREN

SINTREN (DRAMA SATU BABAK) Karya :  ZAENAL MZ Para Pelakon  : MELATI DUKUN SINDEN GENDOWOR SETTING : PANGGUNG DENGAN LATAR BELAKANG TABIR WARNA GELAP. SEPERANGKAT GAMELAN DI SUDUT PANGGUNG, SEBUAH KURUNGAN AYAM YANG DI BALUT DENGAN KAIN PUTIH, SERTA TUNGKU UNTUK MEMBAKAR KEMENYAN TERGELETAK TAK JAUH DARI KURUNGAN. ALUR CERITA : PARA PENABUH GAMELAN MENGALUNKAN TEMBANG JAWA DENGAN IRINGAN SUARA GAMELAN. MELATI MUNCUL SAMBIL MENARI-NARI MENGIKUTI ALUNAN IRAMA GAMELAN. Melati                :  ( ganjen ) Namaku… melati. Memang, aku seperti kembang melati… Aku bukan Madona dari America, bukan Betsi Wong dari Jamaica, bukan pula Betsi Hudson dari Polandia, aku M e l a t i. SUARA             :  Putih… Wangi… Melati                :  Aku baru saja mandi di kali… SUARA             :  Segar… Mekar… Melati                :  Telanjang ! SUARA             :  Ranum… Harum… Melati                :  I,ih, aku benci laki-laki !

LARON - LARON

LARON – LARON Karya  Prie GS Para Pemain : Mursyid Laron Sepuh Bujang Laron 1 Laron 2 Laron 3 Laron 4 Laron 5 DI SEBUAH KURSI RODA / GOYANG LARON SEPUH TERBARING DENGAN PAYAH MENUNGGU MATI. DIA HANYA DITUNGGUI OLEH LARON BUJANG, ABDI SETIANYA. MEREKA SEPERTI HIDUP DALAM SEBUAH RUANG KACA / INSTALASI TERSENDIRI. SEMENTARA DI LUARA SANA TERDAPAT ANEKA LARON MURID YANG BEBAS MEMANDANG DAN BERKOMENTAR SECARA LELUASA TANPA LARON SEPUH MENGETAHUI. SEMENTARA LAKON MURSYID DUDUK TERPISAH DENGAN TENANG. (tembang) Lir ilir lir ilir, tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi Luyu-luyu penekno kanggo mbasuh dadat ira Dadat ira dadat ira kumitir bedah ing pinggir Damana jlumatana kanga seba mengko sore Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane yen soraka sorak hore ! BERSAMA DENGAN TEMBANG ITU LARON-LARON MURID MENGENDAP-ENDAP MELIHAT APAKAH LARON SEPUH BENAR-BENAR SUD

PERJUMPAAN DI TEPI JALAN

PERJUMPAAN DI TEPI JALAN:  MEMBACA RUANG BER-ADA  (oentoek semarang, kota tertjinta oentoek emka, teman-teman tertjinta)  Karya :  Teater Emka  Para pemain:  Super-Man  Pandanaran  Laki-laki  Perempuan  Orang-orang  Babak I  Sebuah ruang, sebuah jalan (di-mana-mana, di-manapun). Orang-orang berlalu-lalang, merasa harus menghilang. Orang-orang membawa barang. Bergegas. Berlari. Bertopeng. Ada yang tertinggal. Kelupaan. Saya juga lupa, apakah hari itu siang atau sudah petang. Yang jelas, jam terus berdentang dan kaki masih berlari. Seperti ribuan derap sia-sia, suara-suara itu menyembul sebagai “kegelisahan yang hening” lalu menghunus keberadaan kita.  Gemuruh, di antara senyap di sana dan senyap di sini. Hening, di antara gemuruh di sana dan gemuruh di sini. Lamat terdengar tembang mengalun, mengajak kita meronta.  Koor  Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan: wadhah lan isine.  Jeneng wadhah yen tanpa isi alah dene wad